Udah kenal eh ketawan aslinya deh, jauhin atau temenin?
![]() |
lagi merhatiin seseorang yang di doakan hahaha... |
Hannazens Pernahkah kamu bertemu dengan orang yang baru saja dikenal dalam sebuah acara seperti di seminar, di transportasi umum, atau lokasi wisata.
Terkadang karena diajak ngobrol banyak hal, kita langsung percaya aja kalau orang ini asik, orang ini baik, orang ini bersahabat.
Padahal sebenarnya perlu beberapa hal yang harus dilakukan untuk memastikan orang yang baru saja kita temui baik atau tidak.
Source dtpeduli.org :
Diceritakan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang laki-laki berkata kepada Umar, “Sesungguhnya si Fulan itu orangnya baik.” Umar bertanya, “Apakah engkau pernah bersafar bersamanya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.”
Umar bertanya, “Apakah engkau pernah bermuamalah (berbisnis) dengannya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.”
Umar bertanya, “Apakah engkau pernah memberinya amanah?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar berkata, “Kalau begitu engkau tidak memiliki ilmu tentangnya.
Barangkali engkau hanya melihat dia salat di masjid.” (Mawa’idz shohabah) Saudaraku. Jadi, kalau kita misalnya hendak merekomendasikan seseorang, ingatlah perkataan Umar tersebut.
Sebab ketika kita sudah dekat dengan seseorang, Allah suka membuka sedikit atau mengizinkan terbukanya siapa seseorang itu, dalam tiga tempat seperti yang dikatakan Umar. Satu, saat sedang dalam perjalanan. Misalkan bagi yang pelit bisa kelihatan.
Seperti bekal kue yang dia bawa disimpan terus. Tetapi giliran temannya yang membuka bekal, dia ikut mengambil, dan bekalnya sendiri dibawa pulang kembali.
Lalu, saat membayar ongkos atau jajan, tangannya seolah tersangkut di dalam sakunya sehingga lama mengeluarkan uang, supaya dibayari temannya.
Belum lagi keluh-kesahnya. Misalnya, “Jalan-jalan bikin capek.” Padahal dia sendiri yang ingin jalan-jalan. Hingga kalau sudah capek emosinya akan tampak, begitu juga keegoisan, keserakahan, dan lain-lainnya.
Karena dalam safar itulah, misalnya, orang yang tidak sabar akan terbuka ketidaksabarannya. Sebetulnya bukan Allah yang membukanya, tapi dia yang membuka sendiri sehingga Allah mengizinkannya terbuka.
![]() |
merenung kapan bisa wisata bebas syarat |
Dua, dalam muamalah (bisnis). Biasanya di sini tersingkap juga kelakuan asli seseorang. Seperti omongan palsu, keserakahan, kelicikan, ingin untung sendiri, dan banyak hal lain yang Aa yakin bagi yang sudah tahu bisnis lebih hafal perinciannya.
Orang bisnis manis di awal, pahit di tengah, dan muntah-muntah di belakang. Pernah ada sejumlah orang yang pendidikannya tinggi dan bicaranya bagus datang mengaji ke Daarut Tauhiid, lalu mengajak bisnis.
Awalnya bagus, tapi setelah sebulan langsung menghilang. Kita yang ditipu tidak rugi, tapi yang pasti rugi adalah yang menipu. Yang ketiga, ketika diberi amanah. Banyak contohnya yang telah sering dijelaskan.
Seperti disuruh mengajar pukul delapan,
tapi datangnya pukul sembilan kurang seperempat. Padahal lonceng akhir
pelajarannya pukul sembilan, sehingga dia mengajar cuma seperempat jam.
Atau, saat dititipi sesuatu, dipakai saja olehnya, dan ketika meminjam barang tidak dikembalikan. Saudaraku. Seseorang ketahuan aslinya dalam perjalanan, muamalah, dan saat diberi amanah, karena dia membuka dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, kita harus benar-benar menjaga diri dalam tiga tempat itu.
Tempat yang mudah bagi kita
membuka apa saja yang telah ditutupi oleh Allah SWT. Kita pun perlu
berhati-hati dalam merekomendasikan seseorang.
=====
=====
Nah sekarang gimana? mau lanjut berteman dengan orang yang udah ketawan aslinya?
![]() |
manisnya senyummu mbak anna |
Hannazens, seperti dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, "Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang buruk, bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi.
Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya.
===
Seperti itulah gambarannya jadi menentukan kategori kawan
pun sudah diajarkan Rasululloh melalui petunjuk dari ALLAH SWT
Salam,Hanna Ritonga
Komentar